Minggu, 19 April 2020

Webinar 2020

Selamat, Mbakyu Nur....
(Juga, Guz Nur....)
###

Penanganan Covid-19 tampak kian semarak. Sosialisasi tentang hal itu menjadi agenda Lp2ks via Daring dengan aplikasi Zoom (yang belakangan diisukan data pribadi pengguna bisa tercuri?).

Mbakyu Nur terpilih mewakili Pace. Menyingkirkan Delon, Dkk.
Dahsyat...!

Padahal, Delon terlanjur Ge-Er. Terdaftar dengan nomor urut pertama. Dan, yang pertama kali diterima sebagai peserta Diklat On-line 2020. Lalu, Delon menggenggam sertifikat itu. Untuk melengkapi angka kredit pengembangan diri. Hingga tembus LPMP tahun ini. Dari kursi Four-C menuju sofa Four D.
Lalu, Delon tinggallah leha-leha. Datang. Duduk. Diam. Duit! Atau, rileksasi. Menulis buku! Buku apa saja. Untuk target pasar yang beragam. Umum. Siswa. Guru. Kepala sekolah. Atau, pemangku kebijakan pendidikan.

O, ini proyek besar. Tentu, Delon perlu berpikir besar. Aksi besar. Hingga, hasilnya besar. Untuk dirinya. Atau, juga untuk orang lain.

Guz Three, sahabat Delon,  yang kritis itu, tampak  mengingatkan Delon :

"Menulislah...
Walaupun hanya satu atau dua kata.
Lalu, cetaklah menjadi buku. Untuk merangsang teman lain. Dari budaya lisan. Ngobrol melulu. Menuju budaya tulis!"

"Ach, waktu itu Delon merasa Guz Three menghinanya. Bagaimana pun, tak ada satupun kata yang bermakna dari mulut Delon. Atau, kata yang mengalir dari pena Delon. Bagaimana mungkin diterbitkan menjadi buku?", Pikir Delon. "Ini penghinaan...! Saya akan buktikan, pena saya akan melahirkan buku...!". Oh, pikiran Delon kian melambung.

Awal tahun ini, menjadi tahun bersejarah bagi Delon. Buku Delon yang pertama terbit. "EXPERIENCING ENGLISH" ---English for Yunior High school grade IX--. Penerbit Masmedia Sidoarjo itu yang memproduksinya.

Semoga, Guz Three berkenan memesan buku itu. Untuk murid-muridnya. Hingga, membaca menjadi kegemaran. Di tengah merebaknya virus Mbakyu Covid sekalipun.

***

Makan apa?

Makan apa? Untuk menjawabnya, Hendra beserta orangtuanya pindah rumah. Banting setir ke pulau seberang. Dari Jawa merantau menuju Sumatera. Begitulah Hendra beserta orangtuanya. Hingga, Hendra pun kehilangan bahasa Jawanya. Saking teramat lamanya tinggal di Sumatera. Ya, Hendra pun akhirnya teramat kerasan di sana.

Namun, sejak kelas 1 SMP, sesungguhnya orang tua Hendra ingin memutuskan pindah domisili. Dari Pulau Sumatera. Tepatnya, Palembang. Menuju Pulau Jawa, Pacitan. Namun, lagi-lagi orangtuanya takhluk atas alasan Hendra :
"Aku sudah menyatu dengan alam Sumatera. Juga, teman-teman di sini, Ayah...!", pinta Hendra. Ooo, orangtuanya pun mengalah. Hendra pun memang mampu membuktikan prestasinya.  Sejak SD, ia menjadi duta sekolahnya. Ia aktif untuk ikut lomba antar siswa di kotanya, Palembang. Jabatan menjadi Ketua Kelas pun tak lepas dari tangannya.

Hendra memang anak cerdas dan pemberani. Saat masuk SMP "Suka Maju", kecerdasan dan keberaniannya kian terasah. Ia memenangi suara terbanyak saat bertarung dalam pemilihan Ketua OSIS. Saat itu, ia sudah di kelas 2. Walaupun, ia bukan putra daerah! Juga, pemilihan itu dilakukannya tanpa penggiringan masa. Tanpa permainan uang. Tanpa koneksi. Tanpa gesek kanan. Tanpa gosok kiri. Tanpa jilat atas. Tanpa injak bawah.  Itu benar-benar pilihan banyak hati teman-temannya, siswa-siswi SMP "Suka Maju".

Prestasi Hendra kian menuju bintang. Di bangku kelas 2 itu, Hendra mengulang-ulang sejarah emas. Menorehkan prestasi untuk sekolah kesayangannya. Juara pertama lomba siswa berprestasi di kotanya itu. Juga, di even lomba siswa lainnya.

Saat detik-detik kenaikan kelas, Hendra terperanjat. Bukan masalah buku rapornya.
Namun, orangtunya memaksanya pulang kampung halaman. Untuk selamanya!

Hendra sulit mengerti atas rencana orangtuanya. Kembali ke kampung halaman. Ya, ia memang belum sepenuhnya mengerti. Bagaimana jawaban yang bijak atas pertanyaan makan apa? Caranya, bagaimana? Untuk apa saja?

Jika, urusan berdebat, Hendra memang jago. Maklum saja. Ia kutu buku. Banyak buku yang dilahapnya. Namun, ia juga bergaul dengan banyak teman. Dan, ia kerapkali berdiskusi dengan siapapun.

"Usaha Ayah kian ambruk. Jadi, kita balik kampung, ya Nak?", pinta Pak Pangat, ayah Hendra,  berulangkali. Kali ini, Hendra mengalah.

Ya, mereka bersepakat  balik kampung? Di tengah kejayaan Hendra menggenggam segudang prestasi? O...., seluruh guru SMP "Suka Maju" pun menghalanginya. Juga, Kepala Sekolah itupun mempersulit rencana pindah sekolah Hendra itu. Alasannya, karena, Hendra menjadi model siswa berprestasi.

"Saya makan apa,  Pak, di sini?", tanya  Pak Pangat penuh harap atas kelengkapan berkas pindah sekolah bagi Hendra. Ya, luluh juga akhirnya. Kepala sekolah SMP "Suka Maju" itu. Melepaskan Hendra menuju Jawa.

Oh, berat sesungguhnya bagi Hendra untuk pulang kampung. Namun, pilihan mudik ini harus diterima. Mengikuti kehendak orang tua nya. Barangkali tak sulit untuk mencari jawaban "makan apa" di kampung sendiri. Begitulah, pikir orang tua Hendra.

"Ini Hendra, Pak. Anak saya. Ingin pindah sekolah ke sini. Tolong, diterima, ya Pak", pinta Pak Pangat. Pak Delon, kepala sekolah SMP "Wono Asri" itu mengangguk kegirangan.

"Alhamdulillah. Selamat datang di sekolah kami. Semoga kian akrab dengan anak-anak di sini. Dan, betah di sekolah ini hingga lulus," kata Pak Delon.

Lebih satu tahun di sekolah yang baru itu, Hendra tak tampak menonjol prestasinya. Biasa saja. Hingga hari kelulusan akan tiba.

Pak Delon tersentak pagi itu. Membaca pesan via WA dari Hendra :

"Selamat pagi, Bapak. Jika, masa lockdown masih lama, saya ingin kembali ke Palembang. Warung masakan Padang, milik ayah saya gulung tikar. Di sini kian sepi pelanggan. Jika, lama-lama di  sini, saya harus makan apa?"

"Oh, Hendra. Ini pilihan yang sulit. Ijazah belum kamu terima. Buku rapor pun masih kosong. Tak berujung selesainya. Dikirim tugas siswa via dunia Maya, namun sulit sinyalnya. Juga, banyak siswa yang  tak memadai akses internetnya. Jika, guru harus bertatap muka dengan siswa, resiko tertular virus Corona. Yang kian menggurita saja. Namun, bukankah Hendra telah menemukan jawaban "harus makan apa?". Inilah prestasi emas Hendra. Ini pula yang melegakan saya. Lebih dari angka-angka. Karena, angka memang tak pernah mengenyangkan perut Hendra", pikir Pak Delon kian kacau.

Pak Delon mengiyakan rencana Hendra. Balik ke Palembang.

"Iya, Hendra. Saya ijinkan. Maafkan, Saya, ya. Gagal melayani kamu di sini. Yang seharusnya, life skill, juga kecerdasanmu kian melambung di sekolah ini. Satu hal Yang menyenangkan Saya, kamu telah mengerti. Hidup haruslah bekerja keras. Untuk menjawab pertanyaanmu, makan apa?"

Di tengah darurat Corona, Hendra beserta orangtuanya kembali ke Sumatera. Untuk berburu jawaban "makan apa".

****Pacitan, April 2020***

Itukah Nur-Mu?

Di tengah gelapnya malam
Ingin kucari matahari-Mu ...
Di tengah terik mentari
Ingin kukejar bulan-Mu...

Ach......!
Di persimpangan jalan ini
Begitu dungunya aku
Memilih garis marka yang lurus
ataukah yang terputus-putus itu?

Tuhan......
Sudah bermil-mil jauhnya perjalanan ini
Mataku pun kian rabun
Berselimut debu nan tebal

Dimanakah sinar lampu rambu-rambu-Mu itu...
Cahaya obor-Mu itu...
Lorong menuju bilik-Mu itu...
di sepanjang jalan ini?

Tuhan....

Oh......!

Purnama-Mu menghentikan langkahku
Itukah nur-Mu...?

Jalan lengang tanpa lampu asesoris pertokoan...
Juga, raung motor dan gema mobil mewah

Ingin aku melintasinya
Di tengah malam ini juga

Sendiri...!

Bersama kedunguan
yang berhari-hari menjerat jiwa

Semoga kutemui Engkau di sana

******
Pacitan, 17 April 2020 (23.30 WIB)