Supervisi melalui Proses Coaching,
Bagaimana?
Oleh:
Teguh Basuki
(Calon Pengajar Praktek Gelombang 1
Angkatan 8 Kelas 27 Tahun 2023)
Supervisi dan Proses Coaching, Untuk Apa?
Coaching untuk supervisi akademik merupakan upaya
supervise yang bermakna dalam peningkatan
peran guru sebagai pemimpin pembelajaran, khususnya kompetensi dalam memimpin
refleksi dan perbaikan kualitas proses belajar yang berpusat pada murid. Seorang guru harus membiasakan melakukan
refleksi terkait perbaikan kualitas praktik pembelajaran. Selain itu, guru
harus memandu rekan sesama guru untuk bersama menganalisis data hasil
pembelajaran, merencanakan tindak lanjut berdasarkan hasil analisis untuk
meningkatkan pembelajaran, dan melakukan refleksi berdasarkan umpan balik dari
murid untuk perbaikan kualitas praktik pembelajaran. Refleksi dari kepala
sekolah juga perlu dilakukan untuk perbaikan kualitas praktik
pembelajaran. Bahan yang dapat dijadikan
refleksi adalah berupa hasil supervisi dari kepala sekolah atau guru
pamong. Saat melakukan supervisi sesama
guru, guru membutuhkan keterampilan dalam mengelola pelaksanaan supervisi
supaya tujuan tercapai.
Kadang muncul perasaan tidak nyaman saat harus
berhadapan dengan teman sejawat untuk melakukan supervisi akademik. Namun, hal ini tidak menghalangi guru untuk
tetap bisa memerankan fungsinya sebagai supervisor teman sejawat dengan
menerapkan teknik coaching. Tekhnik
coaching menempatkan supervisor dan guru yang disupervsi membangun kemitraan yang
setara dan guru sendiri yang akan mengambil keputusan dalam rangka perbaikan
kompetensinya. Supervisor sebagai coach
hanya mengantarkan melalui mendengarkan aktif dan melontarkan pertanyaan, guru
lah yang membuat keputusan sendiri.
Teknik coaching dengan alur tirta menyajikan
langkah-langkah yang mudah diterapkan menjadikan guru lebih mudah untuk
mengembangkan kemampuannya dalam menggali potensi rekan lainnya sekaligus
memanajemen dirinya dalam mengelola potensinya dengan menjadikan teman lain sebagai
coach bagi dirinya.
Berdasarkan kajian empiris, dari tiga kompetensi
coaching, yaitu kehadiran penuh, mendengar aktif, mengajukan pertanyaan
berbobot, hal yang perlu ditingkatkan
dalam penerapan coaching adalah kompetensi mengajukan pertanyaan berbobot. Pertanyaan berbobot bersifat terbuka dan
berasal dari mendengarkan jawaban coachee. Tidak jarang, coach terjebak memberi
tanggapan terhadap jawaban coachee bukan berupa pertanyaan lanjutan namun
berupa tanggapan setuju atau tidak setuju bahkan kadang memunculkan ungkapan
berupa nasihat atau saran. Padahal
coaching bukanlah proses konseling yang memberikan alternatif solusi namun
sebuah proses menemukan solusi dari permasalahan yang berassala dari coachee
sendiri.
Mengapa coaching diperlukan dalam tahapan
supervisi klinis? Supervisi klinis mencakup 3 tahapan, yaitu
pra-observasi, observasi, dan pasca observasi.
Kegitan pra-observasi adalah dialog antara guru (coachee) dan supervisor
(coach) yang dilakukan sebelum observasi di kelas dimulai. Percakapan dengan guru sebelum kegiatan
observasi kelas dibutuhkan untuk pertama, percakapan awal ini membangun
kepercayaan dari guru kepada pimpinan sekolah sebagai supervisor yang profesional
karena merencanakan kegiatan ini dengan baik. Kedua, percakapan awal memberikan
perasaan tenang mengenai tujuan dari rangkaian supervisi klinis. Supervisor
menempatkan diri sebagai mitra atau rekan seperjalanan mereka dalam
pengembangan diri. Ketiga, kesepakatan yang dihasilkan pada tahap ini mengenai
aspek-aspek pengembangan yang akan diobservasi memberikan rasa percaya diri dan
motivasi internal karena guru merasakan keterlibatan aktif dalam proses. Guru
diberikan kesempatan untuk menyampaikan rancangan pembelajaran dan apa yang
menjadi target pengembangan untuk diobservasi (Irayati dkk, 2022)
Observasi adalah aktivitas pengamatan oleh
supervisor pada saat guru melaksanakan pembelajara di kelas. Tujuan utama tahap
ini adalah mengambil data atau informasi secara obyektif mengenai aspek pengembangan
yang sudah disepakati. Percakapan pasca-observasi mempunyai tujuan menganalisis hasil data observasi, percakapan
umpan balik, perencanaan area pengembangan, dan rencana aksi pengembangan diri. Semua langkah itu dilaksaknakan menggunakan
prinsip coaching, yakni kemitraan, Konstruktif, terencana, reflektif, objektif,
berkesinambungan, dan komprehensif.
Tantangan bagi guru dalam menerapkan coaching
pada proses supervisi klinis adalah menjadikan refleksi dan pemberian umpan
balik sebagai kegiatan yang berkesinambungan dan dilakukan secara terus menerus
sehingga mampu memberi dampak perbaikan dalam hal kompetensi pemimpin
pembelajaran. Tidak jarang guru bahkan
kepala sekolah menerapkan coaching hanya sebagia kegiatan rutin untuk pemenuhan
tugas semata sehingga melupakan prinsip utama yakni kontinuitas atau proses
yang dilakukan secara terus menerus dengan menyertakan proses refleksi dan
umpan balik. Hal ini perlu
ditindaklanjuti dengan perencanaan supervisi klinis yang matang diikuti
pelaksaanaan yang sesuai rencana.
Tentunya, sebelum mempelajari materi coaching,
supervisi klinis dilaksanakan terjadwal dan kepala sekolah langsung mendatangi
kelas untuk observasi. Hasil observasi berupa nilai yang menggambarkan
pencapaian kompetensi mengajar.
Terkadang guru tidak mengetahui hasilnya dan merasa tidak
memerlukannya. Dan kepala sekolah
menggunakan data tersebut utuk sekedar laporan dan bukan sebagai bahan untuk
menggali potensi guru dan mengembangkannya lebih jauh lagi.
Setelah mempelajari tekhnik coaching, gambaran
bagaimana mengemas kegiatan supervisi sebagai kegiatan yang santai, bermakna,
reflektif, dan hangat akan terwujud.
Teknik ini bisa diterpakan tidak saja untuk meningkatkan kenyamanan
hubungan antara kepala sekolah dan guru namun yang terpenting adalah
terwujudnya proses evaluasi dan perbaikan secara terus menerus melalui proses
refleksi.
Materi coaching ini merupakan rangkaian dari tiga
materi modul 2 PGP (Pendidikan Guru Penggerak) yaitu pembelajaran berdiferensiasi,
pembelajaran Sosial dan Emosional.
Keterkaitan materi coaching dengan pembelajaran diferensiasi terletak
bagaimana guru sebagai pemimpin pembelajaran mampu memberikan pertanyaan
berbobot pada murid dalam menentukan minat mereka terhadap materi pelajaran
tertentu. Guru harus mempunyai perhatian
penuh kepada muridnya sehingga mampu memberikan pertanyaan yang bisa menggali
potensi murid-muridnya dalam mengungkapkan pendapat, menyimpulkan, dan
menanggapi dalam pembelajaran individu maupun kelompok. Kemampuan mendengar aktif sebagai bagian dari
prinsip coaching sangat diperlukan guru dalam proses pembelajaran dengan siswa
sehingga mampu menangkap kebutuhan siswa sehingga guru bisa memberikan metode
pembelajaran yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan siswa.
Pembelajaran Sosial dan emosional mencakup
nilai-nilai yang terdeskripsi dalam kompetensi soseal emosional (CASEL)
memberikan pengalaman kepada guru untuk mengenal kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran
sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung
jawab. Pengalaman belajar ini memberikan
guru bekal untuk menjadi seorang coach yang ideal. Seorang coach diharapkan mempunyai kompetensi
mendengar aktif, kehadiran yang penuh yang sangat memerlukan konsentrasi
terutama pengelolan emosi yang mendalam.
Hal ini untuk menghindari coach melibatkan perasaan, fikiran dan
emosinya terbawa oleh coachee. Melalui
manajemen diri yang kuat, kesadaran soial, dan keterampilan berelasi seorang
coach akan mampu berempati namun tidak hanyut oleh perasaan coachee namun bisa
menangkap kunci-kunci persoalan sehingga bisa menuntun sang coachee menemukan
solusi yang tepat bagi permasalahannya.
Seorang guru penggerak harus mampu menjalankan
peran sebagaimana yang dipelajari pada Modul 1.2 Nilai dan Peran Guru
Penggerak. Peran yang dimaksud dalam modul tersebut adalah 1) Menjadi Pemimpin
Pembelajaran, 2) Menjadi Coach Bagi Guru Lain, 3) Mendorong
kolaborasi, 4) Mewujudkan Kepemimpinan Murid (Student Agency), 5)
Menggerakkan Komunitas Praktisi. Lima peran guru penggerak yang sejalan dan
selaras dengan modul 2.3 Coaching untuk supervisi akademik adalah
peran yang ke-2 yaitu menjadi coach bagi guru lain.
Supervisi akademik di sekolah sering diasumsikan
sebagai suatu kegiatan observasi atau penilaian terhadap kinerja guru.
Sehingga kata supervisi identik menjadi sebuah kegiatan kekurangan guru dan
guru merasa terbebani ketika guru tersebut disupervisi.
Coaching didefinisikan sebagai sebuah
proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan
sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas
performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi
dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan Whitmore (2003)
mendefinisikan coaching sebagai kunci pembuka potensi
seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih
kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sejalan dengan
pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai
“…bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk
memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses
yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”
Singkatnya, coaching merupakan sebuah
kegiatan mengantarkan dari satu kondisi menuju kondisi lain yang lebih baik (coache
adalah orang yang sudah mahir/ahli tetapi dalam kondisi yang kurang baik
sebelum melakukan kegiatan coaching), coaching meningkatkan
kompetensi personal dan profesional, coaching bukan kegiatan memberi
tahu, melainkan kegiatan menanya (asking) untuk membangkitkan motivasi
(belum mau menjadi mau, belum sadar menjadi sadar). Seorang coach dalam
kegiatan coaching menggali dan memotivasi solusi dari masalah yang
dialami coachee. Kegiatan coaching diharapkan coachee menemukan
solusi dari masalah yang dialami dengan kembali sadar dan tanpa ajakan maupun
paksaan dari seorang coach (mandiri).
Apa Paradigma, Prinsip, dan Kompetensi Inti Coaching?
Prasyarat seorang coach yang baik, seorang coach
harus menerapkan dan memiliki pemikiran dalam beberapa hal, diantaranya adalah
paradigma berfikir coaching dan prinsip coaching.
Paradigma berfikir coaching, meliputi: 1)Fokus
pada coachee/rekan yang akan dikembangkan; 2)Bersikap terbuka dan ingin
tahu; 3)Memiliki kesadaran diri yang kuat; 4)Mampu melihat peluang baru dan
masa depan. Adapun, Prinsip coaching, meliputi: 1)Kemitraan; 2)Proses
kreatif; 3)Memaksimalkan potensi. Selain kedua hal ini, yang perlu dimiliki dan
diterapkan, untuk dapat melakukan proses coaching dengan baik seorang
guru harus memiliki 3 kompetensi inti coaching, yaitu:
- Kehadiran
Penuh/Presence
Kehadiran penuh/presence adalah kemampuan
untuk bisa hadir utuh bagi coachee, atau di dalam coaching
disebut sebagai coaching presence sehingga badan, pikiran, hati
selaras saat sedang melakukan percakapan coaching. Kehadiran penuh
ini adalah bagian dari kesadaran diri yang akan membantu munculnya paradigma
berpikir dan kompetensi lain saat kita melakukan percakapan coaching.
- Mendengarkan
Aktif
Salah satu keterampilan utama dalam coaching adalah
keterampilan mendengarkan dengan aktif atau sering kita sebut dengan
menyimak. Seorang coach yang baik akan mendengarkan
lebih banyak dan lebih sedikit berbicara. Dalam percakapan coaching,
fokus dan pusat komunikasi adalah pada diri coachee, yakni mitra
bicara. Dalam hal ini, seorang coach harus dapat
mengesampingkan agenda pribadi atau apa yang ada di pikirannya termasuk
penilaian terhadap coachee.
- Mengajukan
Pertanyaan Berbobot
Dalam melakukan percakapan coaching ketrampilan
kunci lainnya adalah mengajukan pertanyaan dengan tujuan tertentu atau
pertanyaan berbobot. Pertanyaan yang diajukan seorang coach diharapkan
menggugah orang untuk berpikir dan dapat menstimulasi pemikiran coachee,
memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan
emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk
membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan kompetensi.
Salah satu referensi yang dapat digunakan untuk
mengajukan pertanyaan berbobot kepada coachee adalah merupakan hasil
dari mendengarkan aktif yaitu R-A-S-A. RASA merupakan akronim dari Receive,
Appreciate, Summarize, dan Ask.
Alur Percakapan T-I-R-T-A, Bagaimana?
TIRTA dikembangkan dari satu model umum coaching
yang dikenal sangat luas dan telah banyak diaplikasikan, yaitu GROW
model. GROW adalah kepanjangan dari Goal, Reality, Options
dan Will, yaitu:
1) Goal
(Tujuan): coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee
dari sesi coaching ini; 2) Reality
(Hal-hal yang nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee;
3) Options (Pilihan): coach membantu coachee dalam memilah dan
memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah
rancangan aksi; 4) Will (Keinginan untuk maju): komitmen coachee dalam
membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.
Adapun, TIRTA dapat dijelaskan sebagai
berikut:
- Tujuan Umum (Tahap awal
dimana kedua pihak coach dan coachee menyepakati tujuan
pembicaraan yang akan berlangsung. Idealnya tujuan ini datang dari coachee)
- Identifikasi (Coach
melakukan penggalian dan pemetaan situasi yang sedang dibicarakan, dan
menghubungkan dengan fakta-fakta yang ada pada saat sesi)
- Rencana
Aksi (Pengembangan ide atau alternatif solusi untuk rencana yang akan
dibuat)
- TAnggungjawab (Membuat
komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk langkah selanjutnya)
Apa Relevansi Coaching dengan
Pembelajaran Berdiferensiasi Dan Pembelajaran Soial Emosional?
Pembekalan Calon Pengajar Praktek telah merubah saya
menjadi semakin tercerahkan dan termotivasi untuk menerapkan prinsi coaching
dalam membantu rekan sejawat untuk menemukan solusi atas permasalahan yang
dihadapi. Saya meyakini bahwa dengan menerapkan paradigma berfikir coaching dalam
penyelesaian masalah yang dihadapi rekan sejawat, mereka akan lebih terbuka,
tidak merasa malu menguraikan permasalahan yang dihadapi dan merefleksi diri.
Bagaimanakah keterkaitan coaching dengan
pembelajaran berdiferensiasi? Pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian
keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang
berorientasi kepada kebutuhan murid. Sesuai dengan definisi pembelajaran
berdiferensiasi tersebut dapat diasumsikan bahwa paradigma coaching dan
prinsip coaching dapat diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan
pembelajaran. Selain itu dengan menerapkan coaching sebagai sebuah
pendekatan pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid adalah suatu hal
yang dapat dilakukan dan efektif untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Untuk menyusun dan melaksanakan proses
pembelajaran, guru akan mengaarahkan murid untuk menemukan, menentukan/memilih
kebutuhan belajarnya. Murid dimampukan untuk dapat belajar sesuai dengan gaya
belajar, kemampuan belajar, bakat dan minat yang dimiliki. Dengan demikian,
pembelajaran dapat berjalan baik dan murid merasa nyaman dengan proses belajar
yang mereka lakukan.
Bagaimana keterkaitan coaching
dengan pembelajaran sosial emosional? Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE)
adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas
sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah
memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai
aspek sosial dan emosional agar dapat:
- Memahami,
menghayati, dan mengelola emosi (kesadaran diri)
- Menetapkan
dan mencapai tujuan positif (pengelolaan diri)
- Merasakan
dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial)
- Membangun
dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan berelasi)
- Membuat
keputusan yang bertanggung jawab. (pengambilan keputusan yang bertanggung
jawab)
Lima kompetensi sosial emosional menjadi sebuah
dasar seorang guru agar dapat menguasai tiga kompetensi coaching yang
ada. Sehingga pembelajaran sosial emosional sangat penting dan perlu ditempuh
seorang guru untuk meningkatkan kompetensi sosial emosionalnya sebelum belajar
mengenai coaching.
Selain itu, dalam pembelajaran sosial emosional,
seorang guru akan memperoleh pengalaman mengenai mengelola diri yang baik
hingga mampu mengambil keputusan. Salah satu teknik untuk mengembalikan
kesadaran penuh atau (mindfulness) dapat dilakukan dengan teknik S-T-O-P
yang dapat diterapkan kepada coachee sebelum melakukan kegiatan coaching.
Dengan demikian coaching akan terjadi baik dan memampukan coachee
dalam menemukan solusi masalah yang dialami.
Apa Relevansi Keterampilan Coaching
dengan Pengembangan Kompetensi Sebagai Pemimpin Pembelajaran?
Pemimpin pembelajaran yang baik, yaitu seorang pemimpin
yang memiliki prinsip dan mampu menerapkan paradigma coaching untuk
supervisi akademik. Paradigma coacing dan prinsip coaching untuk supervisi
akademik sangat perlu dimiliki oleh seorang pemimipin pembelajaran untuk dapat
melakukan evaluasi dan refleksi pembelajaran sebagai bahan perbaikan kedepan.
Selain itu, kemampuan coaching seorang pemimpin pembelajaran harus selalu
ditingkatkan dan diasah guna supervisi akademik yang dilakukan.
Pelaksanaan supervisi akademik dengan teknik coaching
akan lebih efektif dibandingkan dengan teknik lain. Karena dalam coaching seorang
coachee mampu menemukan potensi positif dalam diri maupun potensi lain
disekeliling sebagai solusi atas masalah yang dihadapi. Suatu hal yang muncul
atas inisitif atau hasil pemikiran reflektif seseorang biasanya lebih bertahan
lama atau berjangka panjang dan memberikan kesan makna yang mendalam ketika
berhasil diterapkan.
Bagaimanapun, inisiatif perubahan yang jelas dan
mudah dipahami dari seorang pemimpin, dan pemimpin pembelajaran dengan visi yang
jauh ke depan, serta dukungan dari seluruh stake holder menentukan keberhasilan
seorang coach terhadap pelaksanaan supervisi
melalui proses coaching. Bagaimana pendapat Anda?
Sumber:
Modul 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik, Kemendikbudristek,
Jakarta, 2022
https://sman1singgahan.sch.id/keterkaitan-coaching-untuk-supervisi-akademik-pembelajaran-berdiferensiasi-pembelajaran-sosial-emosional-peran-pemimpin-pendidikan/
https://www.kompasiana.com/aisyahamini2279/6342f4cc08a8b53885090ed2/coaching-untuk-supervisi-akademik-sebuah-refleksi