Pendidikan yang Memerdekakan:
Upaya membangun lingkungan belajar yang berpihak pada murid dan memunculkan karakter dari profil Pelajar Pancasila
Oleh:
Teguh Basuki
(CPP Gelombang 1 Angkatan 8 Kelas 27 Tahun 2023)
Perbedaan Pendidikan Dan Pengajaran, Apa?
Ki Hadjar Dewantara (KHD) menyatakan pengajaran merupakan bagian dari proses pendidikan dalam rangka memberi ilmu yang berfaedah untuk kecakapan hidup anak baik secara lahir maupun batin. Sedangkan Pendidikan adalah memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Jadi menurut KHD (1961), pendidikan dan pengajaran merupakan usaha untuk menyiapkan dan menyediakan segala kepentingan hidup manusia, baik kepentingan hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya.
Dalam hal ini, upaya penyelenggaraan pendidikan perlu diarahkan menuju lingkungan belajar yang berpihak pada murid. Mengapa? Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. KHD memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab, maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya.
Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan. Di sinilah pentingnya peran pendidik untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang berpihak pada murid. Pendidik seyogyanya memiliki kesiapan dan kemampuan untuk menuntun murid dengan tetap bertumpu pada kodrat anak, baik kodrat alam maupun kodrat jaman. Dengan demikian, dibutuhkan lingkungan belajar yang bertumpu pada kebutuhan dan kepentingan murid serta dan masa depannya.
Di ranah pembelajaran, diperlukan kesiapan guru untuk memberikan kemerdekaan dalam memilih, konten, model, media, dan tagihan pembelajaran. Implikasinya, guru perlu merancang pembelajaran yang bertumpu pada kebutuhan dan kepentingan siswa. Dalam Implementasi Kurikulum Merdeka, model pembelajaran tersebut, yaitu pembelajaran berdiferensiasi, yaitu pembelajaran yang mengakomodir keragaman dan keunikan kondisi (kodrat siswa) beserta lingkungan budaya dan masyarakatnya.
Menuntun Anak Didik, Bagaimana?
Cara menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak, KHD mengibaratkan peran pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-anak itu seperti biji tumbuhan yang disemai dan ditanam oleh pak tani atau pak tukang kebun di lahan yang telah disediakan. Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang ditanam. Bila biji jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan sinar matahari dan pengairan yang baik maka meskipun biji jagung adalah bibit jagung yang kurang baik (kurang berkualitas) dapat tumbuh dengan baik karena perhatian dan perawatan dari pak tani. Demikian sebaliknya, meskipun biji jagung itu disemai adalah bibit berkualitas baik, namun tumbuh di lahan yang gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya matahari serta ‘tangan dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh, namun ia tidak akan optimal. Dalam hal proses “menuntun” ini, anak diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. KHD juga mengingatkan para pendidik untuk tetap terbuka, namun tetap waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, “ waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu”. KHD menggunakan ‘barang-barang’ sebagai simbol dari tersedianya hal-hal yang dapat kita tiru, namun selalu menjadi pertimbangan bahwa Indonesia juga memiliki potensi-potensi kultural yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar.
KHD mengusung system among, yaitu ing ngarso sung tulodho (memberi contoh), ing madya mangun karso (memberi semangat), tut wuri handayani (mendorong perubahan). Sistem among ini perlu diterapkan guru untuk menuntun siswa dalam rangka memerdekaan siswa secara lahir maupun bathin sesuai kultur budaya masyarakat. Maksudnya, bahwa pendidikan memberi tuntunan (menuntun) terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Dalam hal ini, siswa harus dimerdekakan melalui pendidikan baik secara lahir maupun bathin. Dengan demikian, pendidikan haruslah berpihak pada kepentingan anak, baik kepentingan untuk tumbuh kembang anak secara lahir, maupun tumbuh kembang anak secara bathin.
Metode atau system among sangatlah cocok untuk memerdekan siswa sehingga siswa memiliki kemerdekaan dan merasa bahagia. Metode among siswa menggunakan latihan dan permainan dalam pembelajaran pancaindra untuk anak-anak sangatlah mencolok. Hal ini karena pelajaran pancaindra dan permainan kanak-kanak tidak bisa dipisahkan. Dalam kayakinan Ki Hadjar, Taman Siswa memiliki kepercayaan bahwa segala tingkah laku dan keadaan anak-anak sudah diisi Sang Maha-among segala alat-alat yang bersifat mendidik anak. Itulah sebabnya dalam praktik pengajarannya Ki Hadjar memasukan unsur-unsur kebudayaan dalam permainan anak-anak.
Belajar Sambil Bermain, Bagaimana?
Bagaimana pendapat para tokoh pemikir pendidikan dalam sejarah? Montessori lebih mementingkan pelajaran panca indera, namun permainan anak tidaklah dipentingkan. Sebaliknya, Frobel, bagaimana? Ia memberi pelajaran panca-indera pula, namun ia lebih mengutamakan permainan anak. Namun, demikian, anak masih diperintah dimana guru bertindak lebih superior. Taman Siswa yang didirikan KHD mengawinkan keduanya, yaitu sistem Montessori maupun Frobel, dimana pelajaran panca indera dan permainan anak itu tidak terpisah.
KHD percaya, permainan tradisional memiliki manfaat melatih tabiat tertib dan teratur. Selain itu, permainan anak-anak memiliki kedudukan sangat penting di negara RI, karena sebagian besar permainan anak disertai nyanyian dan hal itu membuktikan adanya musikalitas pada anak-anak. oleh karena itu, bentuk permainan di TK, misalnya dapat berupa permainan dengan nyanyian dan atau dengan lagu dan gerak berirama.
Dari alam menuju budaya Belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar selalu mengandung nilai-nilai pendidikan, baik sisi fisik maupun psikologis. Dalam permainan selalu ada ruang untuk pancaindra anak berkembang secara teratur berdasarkan prinsip tumbuh kembang anak secara alami. Selain itu, dalam permainan juga selalu sesuai kodrat anak-anak yang selaras dengan alam sekitar sehingga spontanitas anak juga tumbuh alami.
KHD juga berpendapat, kesenian untuk anak-anak dapat dilakukan melalui permainan, khususnya latihan kesenian suara, tari, dan sandiwara. Semuanya itu dasar pendidikan budi pekerti, sebagaimana Ki Hadjar mengemukakan, "Permainan kanak-kanak adalah kesenian kanak-kanak yang sungguh pun amat sederhana bentuk dan isinya namun memenuhi syarat-syarat etis dan estetis, dengan semboyan: dari natur ke arah kultur".
Jika budaya sekolah berkembang sesuai prinsip yang searah alam sekitar sebagai akibat efek proses belajar dengan bermain, bisa dikatakan, sekolah itu sesungguhnya sedang menyemai budi pekerti yang halus dan tertib pada diri seorang anak. Jika kebijakan bermain bisa diterapkan para guru di sekolah, tanpa ada sedikit pun keraguan menjalankannya apalagi ketakukan karena ujian nasional dsb, sesungguhnya kita sedang menyemai kreativitas anak tanpa batas untuk tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang berbudi pekerti luhur dan berkarakter kuat.
Bermain adalah salah satu cara membentuk kepribadian dan kecerdasan anak. Dalam melakukan aktivitas bermain, anak tidak menyadari kalau dirinya juga belajar. Mereka bermain dengan perasaan senang, lucu, spontan, dan tidak ada unsur paksaan. Anak yang selalu gembira akan memiliki pertumbuhan badan dan perkembangan jiwa yang baik. Karena itulah penting terus menyadarkan para guru agar selalu melakukan aktivitas bermain kedalam skema belajar-mengajar sehari-hari.
Sebagaimana diyakini KHD, jika aktivitas belajar dilakukan sambil bermain, bentuk permainan haruslah dipahami landasan filosofinya agar pada saat yang sama anak juga dapat belajar tentang konteks budaya dan tradisi yang melingkupi aktivitas bermain tersebut. Selain itu, bermain juga diyakini sebagai bentuk metode belajar sangat efektif, bahkan untuk orang dewasa sekalipun. Sering kita jumpai dalam sebuah pelatihan, jika orang dewasa kita ajak bermain, mereka tak ada bedanya dengan anak kecil ketika bermain, yaitu tertawa, bergerak, dan lain sebagainya. Hal ini relevan dengan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM)
Pada dasarnya konsep pembelajaran Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang dikembvangkan dewasa ini mengembalikan kembali filosofi KHD mengenai pendidikan, yaitu pendidikan yang memanusiakan dan memerdekakan.
Pendidikan yang memanusiakan dan memerdekaan adalah konsep pendidikan yang mengantarkan anak didik pada pertumbuhan dan perkembangan dalam menemukan, mengembangkan, serta menjadikan anak didik sebagai manusia yang utuh dan penuh atas dirinya. Dengan demikian, pendidikan haruslah menghamba kepada anak didik kita. Pendidikan yang menghamba pada anak menekankan pada minat, kebutuhan dan kemampuan individu, menghadirkan model dan metode belajar yang menggali motivasi untuk membangun habit anak menjadi pembelajar sejati, selalu ingin tahu terhadap informasi dan pengetahuan, suka dan senang membaca. Pembelajaran yang seperti ini sekaligus dapat mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan di era mendatang seperti kreativitas, inovatif, kepemimpinan, rasa percaya diri, kemandirian, kedisiplinan, kekritisan dalam berpikir, daya nalar yang tinggi, kemampuan berkomunikasi dan bekerja dalam tim, serta wawasan global untuk dapat selalu beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan. Dalam hal ini, pendidikan budi pekerti tak bisa terabaikan.
Peran Keluarga dalam Pendidikan Budi Pekerti, Apa?
Menurut KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor). Lebih lanjut KHD menjelaskan, keluarga menjadi tempat yang utama dan paling baik untuk melatih pendidikan sosial dan karakter baik bagi seorang anak.
Keluarga merupakan tempat bersemainya pendidikan yang sempurna bagi anak untuk melatih kecerdasan budi-pekerti (pembentukan watak individual). Keluarga juga merupakan sebuah ekosistem kecil untuk mempersiapkan hidup anak dalam bermasyarakat dibanding dengan institusi pendidikan lainnya. Alam keluarga menjadi ruang bagi anak untuk mendapatkan teladan, tuntunan, pengajaran dari orang tua. Keluarga juga dapat menjadi tempat untuk berinteraksi sosial antara kakak dan adik sehingga kemandirian dapat tercipta karena anak-anak saling belajar antara satu dengan yang lain dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Oleh sebab itu, peran orang tua sebagai guru, penuntun, dan pemberi teladan menjadi sangat penting dalam pertumbuhan karakter baik anak.
Salah satu dasar pemikiran KHD tentang pendidikan adalah anak bukan Tabularasa. Pada dasar pemikiran ini, KHD mengibaratkan “Anak bukan kertas kosong yang bisa digambar sesuai keinginan orang dewasa”. Anak lahir dengan kekuatan kodrat yang masih samar-samar. Anak bukan kertas kosong, melainkan benih kehidupan yang utuh. Saya menafsirkan kodrat anak menurut Ki Hajar Dewantara sebagai kecerdasan majemuk anak. Selain karena suka dengan kecerdasan majemuk, saya melihat benang merah antara kodrat dengan kecerdasan majemuk.
Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa anak telah dianugerahi kemampuan belajar sejak lahir. Selaras dengan pengertian kecerdasan majemuk sebagai kemampuan yang dibawa sejak lahir dalam mengolah informasi, untuk menyelesaikan persoalan dan menciptakan karya.
Kesimpulan
Kaitan filosofi dan prinsip pendidikan yang memerdekakan dengan tujuan pendidikan untuk membentuk profil Pelajar Pancasila, bagaimana? Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama: beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.
Dengan demikian, pendidikan yang kita berikan harus sesuai dengan tuntunan alam dan zamannya. Saat ini setiap anak harus memiliki keterampilan abad 21 yang meliputi creativity thinking, critical thinking, comunication dan collaboration. Siswa harus kreatif, mampu berpikir kritis, mampu berkomunikasi dengan baik, dan mampu berkolaborasi dengan baik. Oleh karena itu, pemikiran besar yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu semboyan Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, dan tut wuri handayani perlu dimplementasikan guru melalui layanan pendidikan yang memerdekan siswa melalui penciptaan lingkungan belajar yang berpusat pada kepentingan murid, murid, dan murid. Bagaimana pendapat Anda?
Sumber Referensi:
Dewantara, Ki Hajar (1961), Pemikiran, Konsepsi, Keteladan, Sikap Merdeka. Penerbit: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Yogyakarta
Kusuma, Oscarina Dewi dan Siti Luthfah (2022), Praktek Pembelajaran Yang Berpihak Pada Murid, Modul 2.1., KemdikbudRistek, Jakarta
Nurcahyani, Andri Dkk. (2022), Budaya Positif, Modul 1.4, KemdikbudRistek, Jakarta
Petrus Rafael, Simon (2022), Refleksi Fil osofis Pendidikan Nasional - Ki Hadjar Dewantara, Modul 1.1., KemdikbudRistek, Jakarta
http://bukik.com/ajaran-ki-hajar-dewantara/
https://sekolahmenyenangkan.or.id/pendidikan-yang-berhamba-pada-anak/
https://mediaindonesia.com/opini/123897/bermain-sebagai-pengalaman-belajar-autentik
https://www.imrantululi.net/berita/detail/refleksi-filosofis-pendidikan-nasional-ki-hadjar-dewantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar