engkau, siapa?
Mengambil palu-Ku
menghakimi sesama
engkau, siapa?
Mencuri selendang-Ku
mengibarkan angkuhnya jiwa
engkau, siapa?
Bertingkah makar di altar-Ku
Semau hawa
engkau, siapa?
Bertindak liar di singgasana-Ku
Menerbangkan sayap dusta
engkau, siapa?
Mengaku abdi
Memboyong pelana-Ku semaunya
engkau, siapa?
Mengobral wacana
Menguras laut-Ku tanpa asa
engkau, siapa?
Memutar lidah
Menghabiskan malam-Ku tanpa cinta
engkau, siapa?
Mengaum sepanjang siang
Merampas matahari-Ku dengan rakusnya
engkau, siapa?
Bermain logika
Menjadi berhala
engkau, siapa?
Melipat-gandakan busa
Tanpa aroma
engkau,
hanya berkata-kata
Tanpa makna
Juga, tanpa bukti nyata
***
Warisan terbesar Guru adalah Buku, Fiksi, Non Fiksi, Atau satu huruf Alif sekalipun! Agar mengundang banyak tanya bagi anak-didik kita? Maka, Menulislah seperti orang jatuh cinta (Kata Kang Mashuri, Penyair Muda Jawa Timur an) Tanpa Cinta dengan profesi kita. Kita memang tak membuahkan apa-apa. Hanya getah dan busa tak bermakna Yang kita wariskan. Dan, itu racun bagi anak didik kita! Mengapa kita tak meracik anti virus (Buku) yang menyehatkan Dan membahagiakan anak-didik kita?
Rabu, 06 Mei 2020
Minggu, 03 Mei 2020
Dimanakah, Dia?
Nak, Ayo Berpuasa...
(Untuk melihat-Nya)
###
Berpuasa
Untuk mengikuti Sunnah Rasul-Nya
Kebesaran-Nya...
Kejayaan agama-Nya...
Lebih dari diet...
Menunda jadwal makan ...
Minum...
Gerak libido...
Arus ambisi...
Warna mimpi...
Di tengah Corona....
"Dia dimana?", bertanyalah Si Kecil. "Khok, aku tak pernah melihat-Nya?"
"Bisakah engkau bangun malam
Untuk menatap rembulan-Nya?", Sang Ayah balik bertanya.
"Tidak."
"Bisakah jarimu menghitung banyaknya galaksi-Nya?"
"Tidak"
"Bisakah kalkulatormu menjumlah butiran pasir di pantai-Nya?"
"Tidak"
"Bisakah dirimu memeluk matahari-Nya?"
"Tidak"
"Jika, dirimu tak mengenal ciptaan-Nya, bagaimanakah mungkin engkau mendekati-Nya?"
Sang Ayah memeluk Si Kecil.
"Ya, jika, hari ini engkau belum bisa memetik bintang-Nya. Maka, Bagaimana mungkin, engkau bertemu dan menatap-Nya?"
'Kapan, aku bisa melihat-Nya, Ayah?", Si Kecil kian ngungun.
"Setelah engkau rajin gosok gigi, dan tak lupa mengenakan ikat pinggang. Dan, tetap bersarung tangan. Juga, bersepatu di tengah lumpur. Hingga, mudah saja bagimu menghafal Juz Amma. Dan, perhatikan apa yang terjadi...! Engkau, akan menatap-Nya, Nak...!"
Si Kecil tidur kembali usai makan sahur pagi itu. Namun, Sang Ayah sulit memejamkan mata.
"Apakah aku sudah hafal Juz Amma, Dan, telah menangkap pesan-Nya? Lalu, telah merasakan dan menyambut kehadiran-Nya?"
OOO, Sang Ayah tampak malu besar pagi itu. Hanya bermain retorika, logika, dan diplomasi. Juga, argumentasi, puisi dan diksi yang basi.
"Mengapa aku tak jujur saja. Dan, kukatakan, Bahwa, akupun sedang mencari-Nya. Dan, masih gagal menemukan-Nya? Di tengah pasar kehidupan yang kian gelap?"
Sang Ayah kian sulit menutup mata. Dibombardir atas kebohongan publik dan berita hoaks yang ia ciptakan sendiri.
***
Pace, Mei 2020
(Untuk melihat-Nya)
###
Berpuasa
Untuk mengikuti Sunnah Rasul-Nya
Kebesaran-Nya...
Kejayaan agama-Nya...
Lebih dari diet...
Menunda jadwal makan ...
Minum...
Gerak libido...
Arus ambisi...
Warna mimpi...
Di tengah Corona....
"Dia dimana?", bertanyalah Si Kecil. "Khok, aku tak pernah melihat-Nya?"
"Bisakah engkau bangun malam
Untuk menatap rembulan-Nya?", Sang Ayah balik bertanya.
"Tidak."
"Bisakah jarimu menghitung banyaknya galaksi-Nya?"
"Tidak"
"Bisakah kalkulatormu menjumlah butiran pasir di pantai-Nya?"
"Tidak"
"Bisakah dirimu memeluk matahari-Nya?"
"Tidak"
"Jika, dirimu tak mengenal ciptaan-Nya, bagaimanakah mungkin engkau mendekati-Nya?"
Sang Ayah memeluk Si Kecil.
"Ya, jika, hari ini engkau belum bisa memetik bintang-Nya. Maka, Bagaimana mungkin, engkau bertemu dan menatap-Nya?"
'Kapan, aku bisa melihat-Nya, Ayah?", Si Kecil kian ngungun.
"Setelah engkau rajin gosok gigi, dan tak lupa mengenakan ikat pinggang. Dan, tetap bersarung tangan. Juga, bersepatu di tengah lumpur. Hingga, mudah saja bagimu menghafal Juz Amma. Dan, perhatikan apa yang terjadi...! Engkau, akan menatap-Nya, Nak...!"
Si Kecil tidur kembali usai makan sahur pagi itu. Namun, Sang Ayah sulit memejamkan mata.
"Apakah aku sudah hafal Juz Amma, Dan, telah menangkap pesan-Nya? Lalu, telah merasakan dan menyambut kehadiran-Nya?"
OOO, Sang Ayah tampak malu besar pagi itu. Hanya bermain retorika, logika, dan diplomasi. Juga, argumentasi, puisi dan diksi yang basi.
"Mengapa aku tak jujur saja. Dan, kukatakan, Bahwa, akupun sedang mencari-Nya. Dan, masih gagal menemukan-Nya? Di tengah pasar kehidupan yang kian gelap?"
Sang Ayah kian sulit menutup mata. Dibombardir atas kebohongan publik dan berita hoaks yang ia ciptakan sendiri.
***
Pace, Mei 2020
Langganan:
Postingan (Atom)